Peranan Masjid Al Mimbar Dalam Perkembangan Islam Di Kabupaten Tulungagung

Posted by Unknown Jumat, 24 Mei 2013 0 komentar
Al Mimbar Dalam Perkembangan Islam Di Kabupaten Tulungagung, Masjid Al-Mimbar berada di Desa Majan Kecamatan Kedungwaru merupakan masjid tertua di Kabupaten Tulungagung. Masjid ini peninggalan KH. Hasan Mimbar, salah satu ulama besar dimasa kerajaan Mataram. Sampai sekarang Masjid Al-Mimbar masih berdiri kokoh. Berbagai aktivitas keagamaan diadakan di masjid ini. Bagaimana peranan Masjid Al-Mimbar terhadap perkembangan Islam di Kabupaten Tulungagung? Berikut catatan wartawan Mataram Timur News Hariyanto.
Masjid Al-Mimbar berada di desa Majan Kecamatan Kedungwaru Kabupaten Tulungagung. Masjid ini salah satu peninggalan sejarah tentang perkembangan Islam di Kabupaten Tulungagung. KH. Hasan Mimbar yang masih keturunan Mataram adalah pendiri masjid tersebut. Menurut KH. R. Moh. Yasin mantan kepala desa Majan, tsetelah KH. Abu Mansur pergi haji beliau menyerahkan daerah utara Tawangsari untuk ditempati KH. Hasan Mimbar kemudian dinamakan desa Majan.

Pada tahun 1727 atas nama Sunan, Bupati Ngabai Mangundirojo memberi kuasa kepada saudaranya KH. Hasan Mimbar untuk melaksanakan hukum nikah dan sebagainya, kepada orang yang membutuhkannya sampai tahun 1979. “Dulu desa Majan mendapat kebijaksanaan sendiri dalam melakukan pernikahan namun sekarang sudah tidak lagi karena diberikan kepada pemerintah” jelas M. Yasin yang sudah dua kali sebagai Kepala Desa Majan.

Menurutnya semua tanah yang ada di Majan merupakan tanah perdikan, namun sekarang tidak lagi. Pada tahun 1979, Desa Majan, Winong dan Tawangsari tidak lagi daerah perdikan. Pada saat itu, yang menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur adalah Soenandar Prayosoedarmo, dan Bupati Tulungagung Singgih.

Di desa Majan diwakili Towil Isa, desa Winong diwakili oleh Sujangi Habib dan Desa Tawangsari oleh Murtadho. Ketiga Desa tersebut kemudian berstatus sebagai desa biasa lazimnya desa-desa yang ada di Kabupaten Tulungagung. Didalam perjanjian pembebasan tanah Desa Majan tersebut berbunyi :
- Adat istiadat Majan tidak dirubah selama tidak bertentangan dengan agama
- Akan diberi prioritas
- Akan disesuaikan dengan desa biasa

Mengenai Masjid Al-Mimbar sejak dulu dijadikan pusat kegiatan dan pengembangan agama Islam. Beberapa peninggalan yang masih tersisa sampai saatnya diantaranya Mimbar Khotbah, Beduk dan Menara. Sudah sering kali masjid ini mengalami renovasi.
Mimbar selalu tertutup tidak seperti masjid yang lain. Menurut M. Yasin mimbar tersebut memberi makna dasarnya jangan memandang yang berkhotbah, tetapi dengar yang berkhotmah. Selain sebagai tempat beribadah, juga dijadikan tempat untuk mengembangkan ilmu karomah. M. Yasin yang juga sebagai pengasuhnya menjelaskan, cara wirid masjid Majan naluri Tegalsaren. Sekitar Masjid Al-Mimbar ini terdapat makam KH. Hasan Mimbar Makam Bupati Tulungagung Pringgokoesomo dan Djoyodiningrat. 

sumber : www.mataram-timur.com

Baca Selengkapnya ....

Candi Sanggrahan, Peninggalan Sejarah Asli Tulungagung

Posted by Unknown Rabu, 22 Mei 2013 1 komentar
Candi Sanggrahan, Peninggalan Sejarah Asli Tulungagung, Membandingkan Candi Sanggrahan dengan candi-candi besar di Jawa Timur macam Candi Penataran jelas kalah populer. Namun untuk ukuran Tulungagung candi ini sudah relatif dikenal oleh masyarakat. Karena candi ini adalah yang paling besar ukurannya dibandingkan dengan peninggalan-peninggalan lain yang bertebaran di Tulungagung. Berlokasi di Desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu, Tulungagung Candi Sanggrahan mempunyai ukuran panjang 12,16 m, lebar 9,05 m dan tinggi 5,86 m. Bahan candi terbuat dari batu andesit dan batu bata. Candi Sanggrahan merupakan bangunan yang berundak-undak yang terdiri atas batuan (lapisan paling bawah) yang tersusun atas batu bata, Candi Sanggrahan rnenghadap ke barat, karena di bagian itu ada tangga naik ke bilik candi. Namun biliknya sekarang sudah tiada.


Tidak beda dengan susunan candi pada umumnya, candi Sanggrahan juga dibagi atas bagian kaki, tubuh dan atap. Tetapi atap tersebut sekarang telah runtuh sama sekali. Pada kaki candi terdapat panil-panil dalam ukuran sama mengelilingi kaki candi. Gambar relief pada panil ini berupa harimau bertelinga lebar. Antara kaki dan tubuh candi terdapat selasar sempit (semacam lantai yang sengaja dibuat untuk orang berjalan rnengelilingi candi). Bagian tubuh candi masih dalam keadaan baik, hanya bagian sisi sebelah barat yang sudah rusak. Sehingga batu isian (batu bata yang ada di bagian dalam untuk penguat candi) sebagian kelihatan. Pada bagian tubuh candi terdapat bidang panil yang kosong tanpa relief. Dimungkinkan pembuat relief belum sempat mengerjakan. Di belakang candi masih terdapat bekas bangunan lain, termasuk bangunan yang terbuat dari batu bata. Dengan saluran air yang menunjukkan fungsinya dulu sebagai pemandian. Dengan demikian dapat kita duga bahwa dulunya di Candi Sanggrahan ini terdapat kompleks (lebih dari satu) bangunan lain.

Sayangnya tidak diketemukan catatan sejarah atau pun prasasti yang menunjukkan kapan dan oleh raja siapa candi tersebut dibuat. Tetapi mengenai sifat agamanya Candi Sanggrahan dapat kita ketahui dari beberapa arca Budha di sekitar candi. Sehingga para ahli purbakala yang pernah meneliti candi itu berkesimpulan bahwa candi Sanggrahan bersifat agama Budha. Meski telah ada juru kunci yang mengurus, namun Candi Sanggrahan terlihat merana. Bangunannya terlihat semakin renta. Sebagian batunya berantakan. Sekitar candi ditumbuhi rerumputan sehingga mengurangi keindahan. Arca-arca Budha di belakang candi pun kondisinya memprihatinkan. Semuanya tak berkepala. Menurut juru kuncinya pada saat diketemukan kondisi candi memang telah dalam keadaan rusak termasuk arca-arcanya

Namun sumber lain, yakni masyarakat sekitar mengatakan bahwa itu ulah tangan jahil. Pernah suatu ketika salah satu arcanya dicuri orang. Tetapi tak lama kemudian segera dikembalikan karena sipencuri sakit keras mendadak. Di hari libur Candi Sanggrahan sering dikunjungi murid-murid SD dan TK untuk sekedar melihat-lihat. Pada hari raya Waisak di candi itu kadang-kadang juga sebagai tempat upacara ritual. Candi Sanggrahan meski tidak begitu terkenal tetapi merupakan salah satu bukti tingginya peradaban budaya nenek moyang masa lalu. Oleh karena itu diperlukan kesadaran untuk ikut menjaga warisan nenek moyang tersebut. (Kukuh SW).*

Sumber : https://www.facebook.com/tulungagungkota

Baca Selengkapnya ....

Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung

Posted by Unknown Minggu, 19 Mei 2013 0 komentar

Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung Tentunya tidak menyadari kalau kita (baca: umat Islam) mempunyai Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung, yang sudah berganti style. Masjid yang berada di pusat Kota Tulungagung ini menyimpan kenangan yang indah dalam perjalanannya hingga sekarang ini. Kita bisa menyebutnya dengan sebutan masjid tiga zaman. Sebab Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung mengalami transisi perubahan bangunan selama tiga kali priode; Periode Ngrowo (masjid awal), Periode Transisi dan Periode Modern.

Menurut bapak Kiai Ali Mustakim sesepuh Kelurahan Kauman yang dipaparkan oleh bapak KH. Abu Sofyan Sirojuddin, selaku ketua ta’mir Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung periode 2007-2012, mengatakan bahwasanya keberadaan tanah yang di atasnya dibangun sebuah Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung dulunya merupakan tanah wakaf dari Mbah Ichsan Puro. Penulis tidak dapat dengan pasti menelusuri siapa Mbah Ichsan Puro tersebut, karena sumber data pada saat itu belum ada yang mendokumentasikannya, selain itu keluarganyapun sulit untuk dilacak dan pelaku sejarah (oral history) pada saat itu mayoritas sudah meninggal dunia. Menurut bapak Muhadi Latief, Mbah Ichsan Puro merupakan suatu keluarga kenaipan yang dulunya bertempat tinggal disekitar daerah Masjid Jami’ Al-Munawwar.

Menurut bapak KH. Abu Sofyan Sirojuddin, bahwasanya Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung dibangun pertama kalinya diperkirakan sekitar tahun 1262 H/1841 M, angka tersebut dapat dilihat pada hiasan ukir-ukiran imaman yang berada di Masjid Jami’ Al-Muhajjirin Gedangsewu Tulungagung tepatnya dibagian atas. Selain itu Imam masjid yang pertama kali, yang hidup pada masa tersebut belum dapat dideteksi siapa saja. Jadi siapa yang menggagas berdirinya Masjid Agung Al-Munawwar masih belum jelas. Bahkan ta’mir yang kali pertamapun juga masih sulit untuk ditelusuri keberadaannya. Maka dari itulah lembaran-lembaran tulisan ini mayoritas menuliskan dengan sumber data yang masih ada dan juga disinergikan dengan zaman penulisan.

Namun sebuah inksripsi atau tulisan yang telah ditemukan sebagai bukti awal dibangunnya Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung sedikit memberikan gambaran dalam penulisan mengenai sejarah masjid ini. Bukti tersebut berada dihiasan imaman yang berada di Masjid Jami’ Al-Muhajjirin. Inskripsi tersebut merupakan suatu perpaduan antara tulisan Arab dan bahasa Jawa serta tanpa ada kharokatnya.

Tulisan tersebut berada disisi atas tepatnya di tengah-tengah hiasan imaman dengan dikelilingi hiasan ukir-ukiran yang bermotif bunga. Tulisan tersebut bisa juga sebagai bukti dibangun pertama kalinya masjid yang berada di barat Alun-alun Tulungagung tersebut. Atau juga bisa dimungkinkannya tulisan tersebut sebagai bukti pembuatan hiasan imaman. Akan tetapi kalau sebagai bukti pembuatan hiasan imaman, mengapa pada tempat untuk khotbah tidak ada tanggalnya semacam itu. Sehingga kemungkinan besar inskripsi tersebut merupakan suatu tulisan yang mewakili bukti dalam pembangunan Masjid Agung Al-Munawwar Tulungagung.

Sehingga antara Masjid Agung Al-Munawwar dan Masjid Jami’ Al-Muhajjirin Gedangsewu merupakan sinergi kemasjidan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk itulah perlunya sebuah pelestarian diantaranya, sebab pada zaman sekarang ini kita mempunyai dua masjid yang seiring perjalanannya menyimpan penuh makna.

sumber: http://bumi-nusantara.blogspot.com

Baca Selengkapnya ....

Tulungagung

Posted by Unknown 0 komentar
Kabupaten Tulungagung adalah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Tulungagung terkenal sebagai satu dari beberapa daerah penghasil marmer terbesar di Indonesia, dan terletak terletak 154 km barat daya Kota.
Ada dua versi cerita dalam penamaan nama Kabupaten Tulungagung.

ETIMOLOGI:
Versi pertama adalah nama "Tulungagung" dipercaya berasal dari kata "Pitulungan Agung" (pertolongan yang agung). Nama ini berasal dari peristiwa saat seorang pemuda dari Gunung Wilis bernama Joko Baru mengeringkan sumber air di Ngrowo dengan menyumbat sumber air tersebut dengan lidi dari sebuah pohon enau.

Sedangkan, versi kedua nama Tulungagung terdapat dua kata, tulung dan agung, tulung artinya sumber, sedangkan agung artinya besar. Dalam pengartian berbahasa Jawa tersebut, Tulungagung adalah daerah yang memiliki sumber air yang besar. Sebelum dibangunnya Dam Niyama di Tulungagung Selatan oleh pendudukan tentara Jepang, di mana-mana di daerah Tulungagung hanya ada sumber air saja.

Dugaan yang paling kuat mengenai etimologi nama kabupaten ini adalah versi kedua, penamaan nama ini dimulai ketika ibu kota Tulungagung mulai pindah di tempat sekarang ini. Sebelumnya ibu kota Tulungagung bertempat di daerah Kalangbret dan diberi nama Kadipaten Ngrowo (Ngrowo juga berarti sumber air). Perpindahan ini terjadi sekitar 1906 Masehi.

SEJARAH:
Pada tahun 1205 M, masyarakat Thani Lawadan di selatan Tulungagung, mendapatkan penghargaan dari Raja Daha terakhir, Kertajaya, atas kesetiaan mereka kepada Raja Kertajaya ketika terjadi serangan musuh dari timur Daha. Penghargaan tersebut tercatat dalam Prasasti Lawadan dengan candra sengkala "Sukra Suklapaksa Mangga Siramasa" yang menunjuk tanggal 18 November 1205 M. Tanggal keluarnya prasasti tersebut akhirnya dijadikan sebagai hari jadi Kabupaten Tulungagung sejak tahun 2003.
Di Desa Boyolangu, Kecamatan Boyolangu, terdapat Candi Gayatri. Candi ini adalah tempat untuk mencandikan Gayatri (Sri Rajapatni), istri keempat Raja Majapahit yang pertama, Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana), dan merupakan ibu dari Ratu Majapahit ketiga, Sri Gitarja (Tribhuwanatunggadewi), sekaligus nenek dari Hayam Wuruk (Rajasanegara), raja yang memerintah Kerajaan Majapahit di masa keemasannya. Nama Boyolangu itu sendiri tercantum dalam Kitab Nagarakertagama yang menyebutkan nama Bayalangu/Bhayalango (bhaya = bahaya, alang = penghalang) sebagai tempat untuk menyucikan beliau. Berikut ini adalah kutipan Kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca dan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia:

Prajnyaparamitapuri itulah nama candi makam yang dibangun
Arca Sri Padukapatni diberkati oleh Sang Pendeta Jnyanawidi
Telah lanjut usia, paham akan tantra, menghimpun ilmu agama
Laksana titisan Empu Barada, menggembirakan hati Baginda
(Pupuh LXIX, Bait 1)

Di Bayalangu akan dibangun pula candi makam Sri Rajapatni
Pendeta Jnyanawidi lagi yang ditugaskan memberkati tanahnya
Rencananya telah disetujui oleh sang menteri demung Boja
Wisesapura namanya, jika candi sudah sempurna dibangun
(Pupuh LXIX, Bait 2)

Makam rani: Kamal Padak, Segala, Simping
Sri Ranggapura serta candi Budi Kuncir
Bangunan baru Prajnyaparamitapuri
Di Bayalangu yang baru saja dibangun
(Pupuh LXXIV, Bait 1)


sumber: https://www.facebook.com/tulungagungkota

Baca Selengkapnya ....
TEMPLATE CREDIT:
Tempat Belajar SEO Gratis Klik Di Sini - Situs Belanja Online Klik Di Sini - Original design by Bamz | Copyright of TULUNGAGUNGAN.